Translate

Tuesday, March 21, 2017

Penyimpangan pada Masa Demokrasi Terpimpin Terhadap Pancasila

Penyimpangan pada Masa Demokrasi Terpimpin Terhadap Pancasila

Negara Republik Indonesia menerapkan dan menggunakan demokrasi terpimpin dari tahun 1959 – 1966. Masa demokrasi terpimpin berawal dari dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dan berakhir ketika SUPERSEMAR pada tanggal 11 Maret 1966 diterbitkan. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini dicetuskan oleh presiden pada masa itu yakni Presiden Soekarno. Adapun isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, antara lain :

pembubaran konstituante
tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
pembentukan MPRS dan DPAS

Pada mulanya demokrasi terpimpin ini dicetuskan sebagai pengganti dari sistem demokrasi liberal yang semakin carut marut masa itu. Hal inilah yang menjadi alasan Presiden Soekarno memutuskan untuk mengganti sistem demokrasi liberal dengan demokrasi terpimpin.

Bentuk Penyimpangan yang Terjadi Masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)

Pada penerapannya, sistem demokrasi terpimpin melakukan berbagai  bentuk penyimpangan. Penyimpangan tersebut tidak hanya berlaku dalam satu bidang saja tetapi dalam berbagai bidang. Bahkan sudah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan dasar hukum dan ideologi negara. Adapun Penyimpangan pada Masa Demokrasi Terpimpin, adalah sebagai berikut :

Kedudukan Presiden

Jika melihat isi dari UUD 1945 disebutkan bahwa kedudukan seorang presiden sebagai kepala negara berada dibawah kekuasaan MPR. Namun pada kenyataan yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pada masa demokrasi terpimpin ini kekuasaan presiden yang bertindak sebagai eksekutif berada lebih tinggi daripada kekuasaan legislatif yakni MPR. MPR harus patuh terhadap segala keputusan dan kebijakan yang diambil oleh presiden.

Tidak hanya itu saja, presiden bahkan mendikte setiap kebijakan dan keputusan yang akan diambil oleh MPR. Kekuasaan presiden pada masa demokrasi ini kekuasaan yang terpusat dan tidak terbatas. Kekuasaan presiden tidak memiliki batasan dalam satu atau dua bidang saja, namun presiden berhak menentukan kebijakan dan peraturan menyangkut berbagai aspek kehidupan bernegara.

Pembentukan MPRS

Di dalam naskah Undang Undang Dasar 1945 tertulis jelas bahwa pemimpin dan anggota MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat harus dipilih langsung oleh rakyat melalui penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Namun yang terjadi adalah sebaliknya, pemimpin dan anggota MPRS dipilih secara pribadi oleh presiden tanpa bertanya kepada rakyat maupun pemilihan umum.

Ditambah lagi orang-orang pilihan dari presiden tersebut hanyalah seorang menteri biasa yang bahkan bukan pemimpin dari suatu departemen. Adapun pertimbangan dan syarat yang diajukan oleh presiden untuk pengangkatan para wakil tersebut adalah “setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan setuju pada manifesto politik”. Atau pemahaman secara sederhana bahwa orang-orang tersebut dipilih karena berjanji akan setia dan menuruti semua yang diperintahkan oleh presiden.

Pembentukan DPR GR

Penyimpangan yang berikutnya terjadi adalah pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan hasil pemilu pada tahun 1955 oleh Presiden Soekarno. Adapun alasan dari pembubaran DPR ini adalah karena telah berani menolak RAPBN yang diajukan oleh lembaga dibawah kendali presiden. Tak cukup sampai disitu saja, dengan dibubarkannya DPR maka presiden membentuk sebuah lembaga baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR).

Semua anggota DPR GR dipilih secara pribadi oleh presiden tanpa pemilihan umum. Serta segala kebijakan dan keputusan yang diambil oleh DPR GR haruslah lulus persetujuan atau ketentuan dari presiden. Kejadian ini tentu saja sangat bertentangan dengan dasar hukum negara Indonesia yakni Undang Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa presiden tidak berwenang dan tidak dapat membubarkan DPR karena pada prinsipnya kekuasaan DPR sebagai lembaga legislatif lebih tinggi daripada kekuasaan presiden sebagai lembaga eksekutif.

Pembentukan DPAS

Melalui Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959, presiden membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Adapun tugas dari lembaga bentukan dari presiden DPAS ini adalah memberi jawaban untuk setiap pertanyaan yang diajukan oleh presiden dan mengajukan usulan kepada pemerintah. Lembaga DPAS ini terdiri dari 1 orang wakil ketua, 12 orang wakil politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan.

Sebagai bentuk dari pengabdiannya kepada presiden, DPAS memberikan usul dengan keputusan suara bulat agar pidato presiden pada perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” atau yang lebih dikenal dengan sebuatan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang kemudian disahkan melalui Penpres No. 1 tahun 1960. (Baca juga : kebersihan lingkungan sekolah)

Pembentukan Front Nasional

Front nasional adalah suatu organisasi massa dengan misi yakni memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuan dibentuknya front nasional yakni untuk menyatukan segala bentuk potensi nasional yang ada menjadi sebuah kekuatan yang bermanfaat untuk menyukseskan pembangunan negara. Front ini didirikan masih pada tahun 1959 melalui Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959 dan dipimpin langsung oleh presiden Soekarno.

Adapun tugas utama dari front nasional ini, antara lain :

menyelesaikan revolusi nasional
melaksanakan pembangunan
mengembalikan Irian Barat

Pembentukan Kabinet Kerja

Kabinet kerja yang dimaksudkan adalah jajaran para menteri yang bertugas membantu presiden dalam menjalankan suatu pemerintahan. Pada tanggal 9 Juli 1959, Presiden Soekarno mengangkat Ketua MPRS dan DPR GR sebagai jajaran menteri yang membantunya.

Dengan pengangkatan ketua MPRS dan DPR GR menjadi anggota jajaran menteri, berarti presiden telah mencoreng profesi kehormatan dari MPRS dan DPR GR sebagai lembaga legislatif dengan mencampur adukkan antara kekuasaan lembaga eksekutif dan legislatif. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan legislatif lebih tinggi daripada kekuasaan eksekutif.

Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom

Nasionalis, Agama dan Komunis atau Nasakom adalah suatu paham yang berasal dari berbagai golongan masyarakat Indonesia. Presiden Soekarno membentuk ajaran ini dengan tujuan untuk mempersatukan bangsa yakni dengan cara menyatukan segala perbedaan paham yang terjadi di masyarakat menjadi satu pemahaman bersama. Presiden memiliki pendapat bahwa dengan adanya ajaran Nasakom ini maka akan terwujud persatuan dan kesatuan bangsa seutuhnya. Namun tentu saja hal ini ditentang oleh beberapa golongan masyarakat yakni golongan cendekiawan dan ABRI.

Hal ini karena, dikeluarkannya ajaran Nasakom ini oleh presiden sebenarnya adalah untuk memperkuat kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan yang tak terbatas. Kemudian PKI memanfaatkan ajaran Nasakom ini untuk menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 dengan paham komunis, dengan pernyataan diri sebagai barisan terdepan sebagai pembela Nasakom. PKI pun akhirnya berhasil meyakinkan presiden Soekarno untuk bergantung kepada PKI dalam menghadapi TNI.

Muncul Ajaran RESOPIM

Revolusi, Sosialisme Indonesia dan Pimpinan Nasional atau RESOPIM adalahh suatu ajaran yang tujuannya masih sama dengan lembaga bentukan lainnya yakni untuk memperkuat kedudukan presiden sebagai pemangku kekuasaan tertinggi negara. Ajaran RESOPIM dicetuskan pada peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-16. Adapun inti ajaran RESOPIM adalah “bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR).

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)

Pada masa demokrasi terpimpin terjadi suatu penyatuan kelembagaan dan keanggotaan antara TNI dan Polri. TNI dan Polri disatukan menjadi satu lembaga yang kemudian diberi nama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI ini dibagi menjadi 4 angkatan yakni : TNI Angkatan Udara, TNI Angkatan DaraT, TNI Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian. Setiap angkatan dipimpin oleh seorang Menteri Panglima, dimana kedudukannya berada dibawah kekuasaan presiden.

Kehidupan Partai Politik

Berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1959, kedudukan partai dibatasi atau dikenal dengan kebijakan penyederhanaan partai. Masing-masing partai harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh presiden agar partai tersebut dapat terus beroperasi, yang salah satunya yakni jumlah anggota. Hal ini dibuktikan dengan pembubaran yang dilakukan oleh Presiden Soekarno terhadap 2 partai yakni Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada tanggal 1960. Adapun alasan dua partai ini dibubarkan adalah karena beberapa anggotanya terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. 

No comments:

Post a Comment